Opini

Demokrasi Itu Dari, Oleh dan Untuk Siapa?

NUSANTARANEWS.CO – Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 15 September sebagai “Hari Demokrasi Internasional”. Demokrasi merupakan nilai universal yang didasarkan pada kehendak bebas yang diekspresikan orang untuk menentukan sistem mereka sendiri dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya, dengan partisipasi penuh mereka dalam semua aspek kehidupan mereka.

Bagi Indonesia, selama 71 tahun merdeka, kehidupan demokrasi masih terus membutuhkan penataan dan internalisasi nilai-nilai dalam kehidupan yang nyata dan menyeluruh. Demokrasi masih perlu dikembangkan lebih jauh dari sekadar rakyat memilih pemimpin dan wakil dalam pemilihan umum.

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pun mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah ketatanegaraan Indonesia yang berubah pula dari sejak kita merdeka pada tahun 1945 sampai sekarang.

Secara prosedural, Indonesia telah menjalankan demokrasi lewat pemilihan umum sejak tahun 1955. Demokrasi yang digambarkan dengan kebebasan berpendapat juga telah mengalir deras sejak kejatuhan rezim Soeharto.

Sampai disini, demokrasi di Indonesia terlihat sehat dan berjalan baik. Namun ternyata tidak pada kenyataannya. Kesimpulan tidak berjalan baiknya demokrasi di Indonesia berawal dari hal kecil, yaitu para politisi yang melulu mengangkat demokrasi secara prosedural. Mereka lebih banyak membahas tentang partai politik, sistem pemilu, undang-undang pemilu dan sebagainya

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Bahkan, jika mengutip pernyataan dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa indeks demokrasi Indonesia mencapai angka 72,82% pada tahun 2015. Jika dibandingkan tahun 2014 sebesar 73,04%, angka tersebut mengalami penurunan. Kepala BPS Suryamin kemudian menjelaskan, perubahan tahun 2014 sampai 2015 dipengaruhi tiga aspek demokrasi yaitu kebebasan sipil turun 80,30%, hak-hak politik naik 70,63%, dan lembaga-lembaga demokrasi turun 66,87%.

Ia menyebut, perkembangan indeks demokrasi Indonesia tahun 2015 di sejumlah provinsi ada yang mengalami penurunan, yakni Aceh, Kepulauan Riau, Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Barat. Selanjutnya, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Banten, Jawa Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi dan Lampung.

Dan, terdapat empat provinsi yang berada di level kinerja demokrasi kategori baik yaitu DKI Jakarta 85,32%, DI Yogyakarta 83,19%, Kalimantan Timur 81,24% serta Kalimantan Utara 80,16%.

Pun, terdapat indikator demokrasi Indonesia penilaian buruk yakni, penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, presentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi, demonstrasi yang bersifat kekerasan dan alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Tak hanya itu, peraturan daerah yang merupakan inisiatif DPRD, rekomendasi DPRD kepada eksekutif, kegiatan kaderisasi parpol dan upaya penyediaan informasi APBD oleh Pemda. DPRD jangan jadi tukang stampel tapi kreatif, DPRD harusnya kasih masukan soal kebijakan dan usulan secara tertulis. Kebebasan berkeyakinan 2015 trendnya menurun karena banyak kasus intoleran.

Bagaimanapun, pada kenyataannya, pemilihan umum hanya lah salah satu metode yang ‘agak’ mewakili berjalannya demokrasi. Pernyataan tersebut berarti, meskipun pemilihan umum berjalan sempurna tanpa cacat, tetap saja hanya ‘agak’ mewakili berjalannya demokrasi.

Padahal, demokrasi baru dikatakan berjalan baik jika unsur substansialnya terpenuhi, yaitu kesejahteraan rakyat. Unsur substantial demokrasi ini bukan tidak mungkin tercapai di Indonesia selama penegakkan hukum berjalan baik.
Karena, banyak hak-hak rakyat yang terampas oleh para pejabat yang tidak bertanggung jawab. Masalah perampasan hak rakyat juga diiringi dengan kepentingan rakyat yang tidak di perjuangkan oleh pemerintah bahkan perwakilan rakyat sekalipun.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Hal ini dapat di lihat dari banyaknya kebijakan atau undang-undang yang di buat bukan untuk kepentingan rakyat. Sebagai contoh, banyaknya draf kebijakan yang dibuat oleh pihak asing menandakan bahwa kebijakan atau undang-undang memiliki kecenderungan memperjuangkan kepentingan suatu golongan dan bukan untuk rakyat. (Yudi Kurniawan)

Related Posts

1 of 2