Kesehatan

Catatan Kecil Soal Pelayanan BPJS Kesehatan dan RS yang Bermitra

NUSANTARANEWS.CO – Alih-alih mendapatkan pelayanan kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun ternyata hal itu belum dapat terealisasikan dengan baik. Ternyata masih ada masyarakat yang mengalami kejadian tidak elok dalam pemanfaatan layanan BPJS Kesehatan ketika sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit (RS) yang menjadi mitra kerja sama.

Di bawah ini, ada sedikit catatan dari Koordinator BPJS Watch Timbul Siregar terkait beberapa kejadian yang dialami oleh pasien peserta BPJS Kesehatan ketika sedang memanfaatkan fasilitas di Rumah Sakit (RS) yang menjadi mitra kerja sama.

“Hari Rabu (5/10/16) lalu, sejak jam 11 saya sudah nongkrong di sebuah RS di bilangan Jakarta Timur untuk bertemu dengan dokter dan orang BPJS yang bertugas di RS tersebut. Tujuannya cuma satu, yaitu meminta RS untuk tetap merawat seorang pasien penderita Ostheoporosis. Sehari sebelumnya saya mendapat laporan dari keluarga bahwa pasien tersebut diharuskan pulang oleh RS. Tetapi menurut keluarga, pasien hanya bisa terlentang tidur dan mengigau saja. Hanya untuk sekadar duduk pun belum bisa. Bagaimana bisa pulang kalau sekadar duduk saja tidak bisa? Pihak RS meminta pasien pulang dan selanjutnya rawat jalan untuk di MRI.

Setelah menunggu sekitar 2 jam, akhirnya saya bertemu orang RS dan staf BPJS Kesehatan. Pihak RS mencoba menjelaskan tentang kesehatan pasien dan menyatakan bahwa pasien sudah tidak dehidrasi lagi, sehingga bisa pulang. Saya bilang, kok diagnosanya masalah dehidrasi? Bukankah keluarga sudah sejak awal menyatakan pasien mengalami Ostheoporosis. Usia pasien sudah 75 tahun.

Apakah dalam kondisi terbaring di tempat tidur pasien harus pulang dan kembali melakukan rawat jalan dengan menggunakan tempat tidur mondar-mandir RS-rumah? Saya menduga terjadi malpraktek, dilaporkan masalah tulang, kok yang didiagnosa masalah dehidrasi? Sepertinya RS takut rugi karena paket INA CBG’s-nya sudah mendekati batas maksimal.

Baca Juga:  RSUD Dr. H. Moh Anwar Sumenep Buka Depo Farmasi Rawat Jalan 2: Meningkatkan Pelayanan dan Kemudahan Bagi Pasien

Saya meminta RS tetap merawat pasien, dan atas desakan akhirnya pasien tetap dirawat dengan fokus diagnosa Ostheoporosis.

Kasus pasien belum sembuh tetapi sudah disuruh pulang pun dialami seorang pasien yang dirawat di RS PB di Medan. Ini terjadi di bulan September lalu. Dalam kondisi lemah sekali, tidak bisa duduk dan hanya bisa terbaring saja, pasien berusia 83 tahun ini diminta pihak RS untuk pulang. Pasien sudah dirawat 10 hari di RS tersebut. Dengan polos seorang staf RS menyatakan bahwa paket INA CBG’s-nya sudah habis sehingga harus pulang, dua tiga hari lagi boleh masuk kembali untuk dirawat.

Mendapat laporan ini, saya meminta BPJS Kesehatan membantu pasien. Selain itu saya pun telpon RS memprotes tindakan tersebut. Bagaimana pasien bisa pulang dalam kondisi tak berdaya? Setelah diprotes pihak RS memperpanjang perawatan 3 hari lagi, tetapi pihak RS terus mencerewetin keluarga agar pasien pulang.

Dalam posisi tiduran akhirnya pasien pulang. Setelah beberapa hari di rumah, pasien kembali diterima di RS yang sama, tentunya dengan paket INA CBG’s yang baru.

Sekitar 4 bulan yang lalu saya pun mendapat laporan dari seseorang yang meminta pertolongan karena mertuanya dalam kondisi tidak sadar disuruh pulang oleh sebuah RS di kota Tangerang Selatan. Alasannya sangat klasik yaitu karena paket INA CBG’s juga. Karena tidak tahan terus menerus disuruh pulang, akhirnya pasien yang tidak sadar tersebut pun pulang ke rumah. Saya melaporkan kejadian ini ke BPJS kesehatan. Dengan bantuan BPJS Kesehatan mencari kamar perawatan, setelah beberapa hari pasien di rumah tanpa perawatan medis, pasien akhirnya bisa dirawat di RS Fatmawati. Namun setelah 5 hari dirawat pasien menghembuskan nafas terakhirnya.

Kasus pasien yang belum layak pulang tetapi sudah disuruh pulang oleh RS karena alasan INA CBGs, terus terjadi tanpa bisa dicarikan solusinya oleh Pemerintah dan BPJS Kesehatan. RS dengan logika untung rugi tidak memperdulikan lagi kehadiran Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2009 tentang RS, dalam beleid tersebut mengamanatkan RS diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

Baca Juga:  DBD Meningkat, Khofifah Ajak Warga Waspada

Dimana nilai-nilai tersebut ketika pasien yang belum layak pulang tetapi sudah disuruh pulang? Nilai kemanusiaan dan keselamatan pasien tidak lagi penting, hanya karena alasan untung rugi.

Kasus-kasus seperti ini pastinya diketahui juga oleh pihak BPJS Kesehatan, namun kerap kali BPJS Kesehatan kalah dalam bernegosiasi untuk mengatasi masalah seperti ini. Akhirnya Pasien lagi yang menjadi korban.

Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara RS dan BPJS Kesehatan dengan mudah dilanggar oleh RS, dan pihak BPJS Kesehatan tidak pernah mempersoalkan pelanggaran PKS tersebut. Padahal di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 46 mengatur sengketa antara BPJS Kesehatan dan RS.

Amanat baik Pasal 46A Perpres tersebut mengharuskan BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan dan RS (yang menjadi provider BPJS Kesehatan) membangun Sistem Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sepertinya belum dilaksanakan juga sampai saat ini.

Mengharuskan pasien pulang dalam kondisi sakit adalah sebuah tindakan Fraud. Tidak hanya itu, menyuruh pasien membeli obat sendiri juga merupakan Fraud. INA CBGs sudah meng-cover biaya obat.

Kalau saja Pasal 46A sudah dijalankan, maka kecurangan-kecurangan seperti ini akan bisa diminimalisir.

Seharusnya masalah Fraud ini juga menjadi kewenangan Badan Pengawas RS (BPRS). Pasal 56 UU Nomor 44 Tahun 2009 menugaskan BPRS untuk melakukan pengawasan  melindungi hak pasien di RS. Tapi hal ini pun juga seperti tidak pernah jalan.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Dirikan Rumah Sakit Ibu dan Anak: Di Pamekasan Sehatnya Harus Berkualitas

Fraud yang terjadi di RS ada kaitannya dengan nilai paket INA CBGs yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 59 Tahun 2014. Apakah memang INA CBGs itu minim sehingga bisa membawa RS pada saldo negatif ketika harus terus merawat pasien JKN?

Hingga saat ini nilai paket INA CBG’s belum juga direvisi, walaupun sudah dua tahun ini inflasi di sektor kesehatan bisa mencapai 6-10 persen. Memang dalam Pasal 39 Perpres Nomor 19 Tahun 2016 disebutkanbesaran Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s) ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri. Ini artinya Menteri Kesehatan (Menkes) bisa merevisi INA CBGs dalam waktu 3 tahun atau lebih.

Walaupun ada ketentuan Pasal 39 tersebut, seharusnya dalam waktu dua tahun Menkes sudah merevisi paket INA CBG’s. Proses revisi harus mengacu pada Pasal 24 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 2004 yaitu melibatkan asosiasi fasilitas kesehatan (faskes) antara lain asosiasi RS.

Pasal 39 ayat 5 Perpres Nomor 19 Tahun 2016 yang memberikan kewenangan Menkes dalam meninjau besaran INA-CBG’s dengan melibatkan BPJS Kesehatan, DJSN, dan Menteri Keuangan, merupakan pelanggaran Pasal 24 ayat 1 di atas. Seharusnya asosiasi RS juga diajak membicarakan mengenai nilai INA CBGs ini.

BPJS Watch mendesak agar Kemenkes segera merevisi Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 dan lebih obyektif dalam menetapkan paket INA CBGs. Penentuan ini jangan dibayang-bayangi oleh ketakutan terjadinya defisit BPJS Kesehatan, tetapi harusnya lebih diutamakan kepada perbaikan pelayanan kesehatan peserta JKN di RS. Pelibatan asosiasi RS seharusnya membuat RS meningkatkan pelayanannya kepada peserta JKN tentunya dengan mengacu pada PKS yang dibuat dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur yang ada pada Pasal 2 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang RS.” (Deni)

Related Posts

1 of 8