Puisi

Capolavoro dan Mistikus Malam Hari – Puisi Achmad Hidayat Alsair

Capolavoro

Tangga itu menjulang ke langit, tak terhingga.
Sementara di bawahnya seorang pria sedang pulas
dalam ayunannya dia berbicara mengenai kehilangan
dan kesedihan yang terlampau tinggi seperti tangga itu.

Dalam angan, lidahnya berbicara sembari menahan gemetar
sementara seekor kuda putih liar membelah padang
melawan angin yang menjelajahi lebat bulunya
cengkerama dengan pohon tua yang meranggas kehausan.

Dalam angan, lelaki tadi kemudian terjatuh
menuruni tebing menuju pantai tanpa sehelai kain
terpelanting di timbunan pasir tanpa luka terukir
dengan segera dia memasung dirinya di atap gereja
sementara di pantai orang-orang menari memuja ombak.

Tangga itu menjulang ke langit, tak terhingga
dan seseorang kemudian menapakinya
(ketinggian adalah teman)
namun kemudian berhenti sejenak untuk berkata padaku
“Ini semua hanya imaji.”
Semakin sukar kumengerti.

Makassar, Mei 2016

Mistikus Malam Hari

Lihat dirimu, semangku sang ahli nujum
di atas kertas kau tumpah berbagai nubuat yang kelebat
memandang bentang malam, berbicara dengan bahasanya sendiri
pergerakan langit begitu pelan, lambat
membuat orang biasa sepertiku akan mengutuki alam beserta isinya
sama sekali tak terbiasa dengan ritual

Kau sang ahli nujum, begitu sabar menunggu bintang berkata-kata
dalam kerlip lemah kau beri mereka ruh dan lidah
tekun menyusun isyarat mereka, para pengelana selama jutaan tahun
perlakukan mereka ibarat membujuk kekasih dengan bisik-bisik hangat
dan ketika kumpulan rasi itu sungguh merajuk enggan berkata
maka mulailah kau berdendang lembut mengenai muasal angkasa
kala ketiadaan seorang diri berkuasa
kala awan lelah menempuh jarak dan butuh istirah
maka menyatulah mereka semua
memadat hingga ledak, dan terjadilah
“Kun!” cahaya maha cahaya

Kau, sang ahli nujum pembujuk bintang
bertanya kapan musim hujan kemarau paceklik banjir bencana penyakit datang bertamu ke ladang dan tanah kami
bertanya hari baik untuk melahirkan menikah membangun mengubur menghancurkan memulai mengakhiri sehingga kami pegang pedoman lebih erat
bertanya arah nasib menuju beruntung sial mujur musibah rejeki rugi nasib wangsit yang kami gunakan untuk melindungi diri secara hati-hati

Kau, semangku sang ahli nujum
di atas bukit tandus lagi dingin tanpa bara api dan arang
kau berbincang dengan cahaya di bentang malam mistis
bertanya dalam hati sembari menggurat tinta pena
“apa engkau sumber pencerahan?
apa engkau tahu dari mana nasib akan berdatangan?”
jutaan tahun, dan gemintang masih berbicara dengan bahasanya sendiri

Makassar, Mei 2016

Undangan Perjamuan

Datanglah bertamu, tangan gemetarku akan menyambutmu
kusuguhkan padamu daging-daging renyah
yang dicerabut dari semangnya yang kesepian
disajikan di atas nampan perak dingin

Mari, kuantar engkau melihat-lihat potret di dinding
berdebu lagi tua, kenangan tenggelam bersamanya
sementara aroma cat mulai repih karena usia
maka bertanya “ke mana?” bukanlah hal yang sebelah mata

Seluruh keramaian hanya tampak dari luar
jendela berembun semayam halangi pandangan kita
kaburkan gemerlap warna yang saling merangkul
kita anggap remang sebagai pancar indah yang pernah dilihat

Duduklah di perapian, menikmati bara imaji
dengan kayu-kayu dalam salju biru sebagai arangnya
Inilah hangat yang kurindu sebagai tempat semadi
perenungan akan gegarisan awan pelindung kediaman

Lihat, fajar sudah tiba
dan sekarang kau harus undur diri
Maukah kau datang bertamu lagi?

Makassar, Mei 2016

Pesan Astronot Kepada Keluarga di Bumi

Mari, tuliskan fragmen-fragmen mimpi tidur siangmu di atas permukaan rembulan yang menguning.
Rumit? Akan kubantu dengan senandung ayunan orbital yang selaras pada sumbu-sumbu khayalnya.
Yang kutahu kau selalu melihat cahaya cemerlang senja ditemani gemintang yang tak kalah gelarannya.
Tidur sambil berdiri, di sini mungkin saja tetapi di bumi aku akan terlihat bebal lalu terpelanting.
Setidaknya aku masih bisa bersajak dalam potongan besi yang melindungi segenap isinya dari kekosongan.
Aku sering bertanya bagaimana keadaan di bumi. Apa ada yang selalu menyeka air mata dan berusaha menghalau kerinduan?
Selalu terbayang semua wajah tak asing yang menatap bentang malam dari dalam temaram jendela-jendela.
Dan di telinga temanku terus terngiang suara-suara istri dan anak-anaknya yang gemar bercanda menderai tawa.
Namun di sinilah aku, memandang malam yang seolah abadi.
Kuhitung almanak yang tak bisa diam bahkan hingga berkali-kali.
Di luar, ladang kesunyian membujur hingga batas cakrawala. Angkasa adalah danau kesepian.
(ah, melankolis nian)
Bagaimana rasa kaki yang menjejak tanah? Aku rindu ilalang dan rerumputan.
Aku rindu kalian.

Makassar, Mei 2016

Legit

Aku menjilati terang bulan di pipimu
manisnya terukur, lidahku adalah restu
kita berbau mentega dan susu, candu
kopi hangat dalam gelas, uap yang semu

Aku menghitung bulir meses di alis matamu
burai satu demi satu, mengikis batu-batu
legit oleh gapaianmu, terjebak di kelambu
jawaban di sela-sela gigi, nafas menderu

Aku mengamati pemanggang bekerja
memadatkan lelehan, cair lalu satu
panas oleh bahan bakar, lelahmu
peluhmu dan peluhku, otot yang dipacu

Kita menggenapi hal-hal yang baru dalam rencana

Makassar, Juni 2016

Usai Jam Kerja

Wajahmu terlihat sesak oleh kemacetan ibu kota
yang kau jejalkan di rongga-rongga nafasmu
Lehermu peluh sebab antrian persendian lunglai
datang mengetuk hingga bising pintu rumahmu

Di situ aku terselip, mengantar keranjang
berisi keluh kesah dan ceritaku
Kubungkus dia baik-baik ibarat kado ulang tahun
untuk sebersit senja yang tidak pernah tua

Kau persilakan aku duduk, dan dihidangkan kopi beku
akibat rindumu dalam durasi terlalu lama
Setelahnya kita hanya saling pandang,
tak mampu mengalirkan kata demi kata

Kau diam, aku diam
Kau biarkan mendung selimuti rona bibirmu,
Aku biarkan semut gerogoti daun telingaku
Ini bukan kencan, tapi jebakan
Kepada waktu yang menyita kutimpakan kesalahan

Makassar, Mei 2016

Achmad Hidayat Alsair
Achmad Hidayat Alsair

*Achmad Hidayat Alsair, Lahir di sebuah kota kecil bernama Pomalaa, Sulawesi Tenggara, 15 Mei 1995. Sekarang tengah berkuliah di Universitas Hasanuddin Makassar, FISIP, jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Puisi-puisinya pernah dimuat di Fajar Makassar, Tanjungpinang Pos, Jurnal Asia Medan, Litera.co.id, FloresSastra.com, ReadZone.com, SultraKini.com, MahasiswaBicara.com dan beberapa antologi puisi. Yang terbaru, salah satu puisinya tergabung dalam buku antologi bersama Temu Penyair Nusantara 2016 “Pasie Karam” (2016). Bisa dihubungi melalui [email protected].

Related Posts

1 of 124