PeristiwaPolitik

Bush Tidak Menyesal Pernah Invasi Irak dan Afghanistan

NUSANTARANEWS.CO – Mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush mengatakan bahwa dirinya tidak menyesal telah memerintahkan pasukan AS menginvasi Irak dan Afghanistan beberapa tahun lalu, khususnya pasca serangan WTC dan Pentagon yang dikenal dengan peristiwa serangan 9/11.

“Saya pikir itu adalah keputusan yang tepat,” kata Bush ketika ditanya banyak pasukan AS yang tewas dan terluka selama invasi di kedua negara di Timur Tengah itu.

Seperti diketahui, 10 hari pasca serangan 9/11 Bush langsung mengeluarkan statemen perang terhadap teroris dan menuding organisasi pimpinan Osama bin Laden, Al Qaeda sebagai dalang di balik serangan mematikan tersebut.

Bush sekarang bekerja untuk mempromosikan kesejahteraan veteran perang yang terluka. Ia juga diketahui telah mempromosikan bisnis terbarunya dalam bidang pameran lukisan tentang perminyakan yang menggambarkan veteran militer AS. “Aku menyesal mereka terluka,” kata seorang kepala veteran AS.

“Saya berat hati ketika saya membuat keputusan untuk pergi ke Afghanistan dan Irak karena saya tahu akan ada beberapa konsekuensi yang mengerikan.”

AS awalnya mulai menargetkan Afghanistan hampir satu bulan setelah serangan 11 September 2001 oleh teroris. Pada tanggal 20 Maret 2003, pasukan pimpinan AS menyerbu Irak dari Kuwait untuk menggulingkan Saddam Hussein. Upaya pimpinan Amerika menghancurkanr militer Irak dan menggulingkan Saddam dari kekuasaan dalam rentang minggu.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

Kurang dari dua bulan kemudian, Bush dengan klaim kemenangan menyatakan bahwa ‘operasi tempur besar di Irak telah berakhir’ dan bahwa ‘dalam pertempuran di Irak, Amerika Serikat dan sekutu kami telah menang.”

Sejak konflik Irak dan Afghanistan mulai, setidaknya 8.000 tentara AS dan sekutu tewas, menurut CNN.

Puluhan ribu warga sipil diyakini telah tewas di Afghanistan sejak tahun 2001, menurut PBB.

Korban tewas warga sipil di Irak diperkirakan berada di antara 170.000 dan 190.000, menurut Irak Body Count.

Seperti diketahui bahwa Peristiwa 11 September 2001 (9/11) merupakan puncak fitnah terbesar bagi bagi umat Islam Dunia. Bahkan AS dengan tegas menuduh umat Islam sebagai biang teroris, sekaligus menjadi alasan bagi AS untuk melakukan pembatasan terhadap umat muslim.

Sementara Osama Bin Laden, pemimpin Al-Qaeda menyatakan bahwa prioritas serangan ini adalah untuk melawan orang-orang kafir. Khususnya terkait dengan apa yang dilakukan oleh Amerika dan Israel terhadap Palestina.

Benarkah peristiwa 11/9 merupakan serangan teroris yang merupakan bentuk manifestasi anti Amerika (Barat) dan Israel?

Bila terorisme merupakan sebuah gerakan anti barat, fakta di lapangan justru menunjukkan hal berbeda. Dengan melakukan pendekatan geografis, bisa dilihat bahwa insiden terorisme setelah persitiwa 9/11 lebih banyak dialami oleh negara-negara muslim, bukan di negara-negara Barat. Malah sebaliknya, justru tingkat serangan terorisme sangat rendah di Barat, seperti Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, dan Australia.

Baca Juga:  Peduli Bencana, PJ Bupati Pamekasan Beri Bantuan Makanan kepada Korban Banjir

Berbeda dengan kawasan kawasan Timur tengah, misal di Irak, atau Asia Selatan, Afghanistan, Pakistan, India, dan Afrika, semua adalah negara-negara muslim. Pada tahun yang sama justru tingkat serangan terorismenya sangat tinggi. Termasuk di Afrika Utara, Nigeria bagian utara. Juga Rusia bagian selatan seperti wilayah kaukus, yang berpenduduk Muslim.

Kesimpulannya, bukan di Barat yang banyak dihadapkan kepada ancaman terorisme. Hal tersebut sebagaimana yang dilaporkan oleh National Counter Terrorism Center pada tahun 2011, bahwa negara-negara muslim adalah yang paling menderita akibat serangan terorisme, antara 80% sampai 90%. Dengan 97% angka kematian terkait dengan serangan terorisme antara tahun 2005 – 2010, di seluruh dunia.

Menarik untuk dicemati bahwa setelah invasi AS ke Irak, di mana ada kehadiran besar tentara Barat di sana, pihak afiliasi al-Qaeda justru berperang dengan sesama muslim, bukannya berperang melawan pasukan Barat. Jadi retorika anti-Amerika dan Israel al-Qaeda hanya slogan-slogan saja, sedangkan korban yang paling banyak berjatuhan berada di pihak kaum Muslim bukan Barat.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Iklim Demokrasi Indonesia Sudah Dewasa

Di Eropa, menurut laporan Europol ada 17 korban yang tewas pada tahun 2012. Dan kurang dari setengah dari mereka adalah hasil dari tindakan teroris oleh kelompok-kelompok yang di ilhami oleh agama. Europol mengatakan bahwa ada total 219 serangan, terutama dilakukan di Perancis dan Spanyol, tetapi serangan tersebut dilakukan oleh kelompok separatis atau F mo-nationalist group. Anehnya serangan terorisme di Eropa tersebut, tidak dicap sebagai anti-Barat.

Sementara di Amerika Serikat dan Amerika Utara menurut data statistik dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk tahun 2012, tidak ada korban jiwa karena serangan terorisme anti barat.

Jadi, tuduhan AS bahwa pihak Islam sebagai biang keladi teorisme anti Amerika tidaklah terbukti. Bila melihat para korban atau target, bahwa relatif sedikit orang Barat yang menjadi korban. Korban terbesar serangan ini adalah negara-negara muslim. Sementara sebagian besar serangan di Barat lebih terkait dengan kelompok separatis, kelompok sayap kanan, kelompok sayap kiri, tetapi bukan oleh kelompok anti-Amerika dan Israel.

Bahwa retorika terorisme anti-Amerika dan Israel, tidaklah benar. Sebab korbannya justru adalah umat muslim. Sekali lagi korbannya adalah muslim, bukan Barat.

Penulis: Eriec Dieda

Related Posts