Berita UtamaInspirasi

Benarkah Era Digital Sebagai Lonceng Kamatian Buku?

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Dosen Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ibnu Burdah memiliki pandangan tersendiri terkait nasib literasi tanah air. Menurutnya era digital telah membawa eksistensi literasi di Indonesia mengalami situasi yang paradoksal.

Dirinya tak menampik bahwa literasi saat ini semakin meningkat seiring dengan munculnya media-media baru. Bahkan, lanjut pakar kajian Timur Tengah ini, sumber-sumber informasi juga semakin banyak dan sangat mudah diakses.

Namun kemudahan-kemudahan tersebut, justru dianggap kotra produktif dan menimbulkan pendangkalan dalam berpikir. Meningkatnya ‘kesadaran’ membaca tak berbanding lurus dengan cara berpikir manusianya.

“Hal ini justru kontra produktif, sebab menimbulkan persoalan-persoalan yang belum pernah ada presedennya. Akar masalahnya adalah kualitas sumber-sumber informasi itu dan kurangnya sikap kritis dan kedalaman masyarakat dalam memahami informasi,” ujar Ibnu Burdah, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Rabu (17/5/2017).

Itulah sebabnya di momen hari buku nasional kali ini, dirinya mengingatkan mestinya hari buku bisa menyadarkan masyarakat Indonesia untuk lebih jeli dan selektif dalam memilih dan memilah kualitas bacaan. Sekalipun demikian, Ibnu Burdah tak sepakat jika era digitalisasi yang massif saat ini disebut sebagai gejala era kematian buku.

Baca Juga:  Aliansi Pro Demokrasi Ponorogo Tolak Hak Angket Pemilu 2024

“Hari buku harus menyadarkan kita akan pentingnya kualitas sumber informasi dan pentingnya sikap kritis dan kedalaman dalam mencerna setiap informasi. Dengan banyaknya sumber informasi, bukan berarti ini adalah era kematian buku. Tetapi justru era yang memberikan penyadaran akan pentingnya pengetahuan yang mendalam, komprehensif, dan diproduksi melalui proses yang ketat,” sambungnya.

Untuk menuju masyarakat dengan pengetahuan yang mendalam, komprehensif dan kritis, maka menurut Ibnu Burdah harus kembali ke buku sebagai jawabannya. “Dan itu adalah buku. Buku dituntut memberikan kedalaman, keutuhan dan ketelitian. Bukan kedangkalan, parsialitas, dan kesembronoan,” tegas dia.

Baginya, kembali kepada buku akan mengantarkan pada peningkatan kualitas pemikiran dan peradaban dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta beragama.

Pewarta: Romandhon

Related Posts

1 of 8