EkonomiHeadlinePolitik

Bagaimana Kalau Imperium Amerika Runtuh?

NUSANTARANEWS.CO – Adalah satu kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa Imperium Amerika sekarang menguasai dunia, terutama dalam ekonomi. Meskipun Jepang, China dan Eropa mengejar kejayaan AS dalam ekonomi, tapi nampaknya masih jauh sebelum mereka akan berhasil mencapai tujuan itu.

Namun tidak ada hal apa pun di dunia yang bersifat abadi, termasuk Imperium Amerika. Sekalipun begitu, melihat kejayaan AS dewasa ini sebagai satu-satunya adikuasa militer serta dominasinya atas dunia dalam ekonomi dan teknologi, orang sangsi apakah hegemoni AS dapat runtuh. Sebaliknya ada pula yang khawatir hal itu akan terjadi, mengingat implikasinya yang luas atas dunia.

Sebenarnya sudah ada orang-orang yang mengingatkan para pemimpin AS untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan politiknya agar tidak menimbulkan keruntuhan. Paul Kennedy, seorang Inggris yang menjadi professor sejarah di Universitas Yale AS, adalah penulis yang menonjol dalam mengingatkan para pemimpin AS. Ia katakan bahwa dalam sejarah umat manusia kekuatan-kekuatan besar telah runtuh karena secara berlebihan menggunakan kekuasaannya (overstretch). Itu telah terjadi pada kerajaan Romawi dan terakhir adalah Imperium Britanika yang runtuh karena terlalu meluaskan kekuasaan. Ia menganjurkan agar AS tidak berlebihan dalam usahanya mengembangkan hegemoni atas dunia. [3]

Meskipun peringatan Paul Kennedy cukup beralasan, banyak pakar AS yang menyanggah pernyataannya. Mereka mengatakan bahwa AS tidak pada taraf perluasan kekuasaan yang dapat mengakibatkan overstretch. Malahan mereka mengatakan bahwa menjadi kewajiban AS menggunakan kemampuannya yang besar untuk membawa dunia dan umat manusia kepada keadaan yang lebih baik. Akan tetapi sekarang ketika AS jelas mengalami kesulitan besar di Irak, nampaknya Paul Kennedy tidak terlalu salah.

Ada orang lain lagi yang menunjukkan adanya kerawanan pada Imperium Amerika. Krassimir Petrov, seorang pakar ekonomi Russia, mengatakan bahwa AS akan mengalami kesulitan kalau negara-negara penghasil minyak bumi menetapkan mata uang Euro dalam penjualan minyaknya, dan meninggalkan mata uang ASD sebagaimana sekarang berlaku.[4]

AS sangat berkepentingan bahwa jual-beli minyak di pasar internasional dilakukan dengan mata uang ASD. Dengan begitu semua negara yang mengimpor minyak memerlukan ASD. Untuk itu mereka mengekspor dalam jumlah besar ke AS agar memperoleh ASD yang mereka perlukan. Terutama negara-negara yang memerlukan banyak impor minyak seperti China dan Jepang akan memaksimalkan ekspornya ke AS. Produk mereka yang mempunyai nilai riil masuk AS dan dibayar dengan ASD. Akan tetapi sejak 15 Agustus 1971 AS telah melepaskan mata uang ASD dari emas dan tidak lagi mau menukar mata uang itu dengan emas. Maka ASD yang dipakai membayar impor sebenarnya tidak mempunyai nilai riil, kecuali sebatas kertas dan ongkos cetaknya. Makin banyak ASD dicetak makin menurun nilai riilnya. Itu berarti bahwa negara-negara yang mengekspor ke AS memperoleh ASD yang jauh di bawah nilai produk ekspornya. Mereka bersedia melakukan itu karena memerlukan ASD untuk membeli minyak yang amat mereka butuhkan. Namun kalau ada negara penghasil minyak mengubah sikapnya dan menetapkan mata uang lain, seperti Euro, untuk penjualan minyaknya, negara pembeli minyak harus mempunyai mata uang Euro dan bukan ASD. Kalau banyak negara penghasil minyak berubah sikapnya, maka itu berakibat bahwa keperluan akan ASD sangat berkurang. Dengan sendirinya juga ekspor ke AS untuk memperoleh ASD akan sangat berkurang. Perubahan demikian sangat berpengaruh terhadap kekuasaan AS atas dunia dan dapat berakibat serius, bahkan meruntuhkan Imperium Amerika.

Baca Juga:  Juara Pileg 2024, PKB Bidik 60 Persen Menang Pilkada Serentak di Jawa Timur

Ada pula orang yang malahan menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa runtuhnya Imperium Amerika bukan soal akan terjadi atau tidak, melainkan adalah masalah waktu belaka (it is not a matter of “if”, but a matter of “when”). Ravi Batra, warga AS keturunan India dan professor ekonomi yang telah dengan tepat memprediksi runtuhnya Uni Soviet, menulis dalam bukunya The New Golden Age bahwa Imperium Amerika akan runtuh dari dalam dirinya sendiri. Yang menyebabkan adalah politik yang dijalankannya tidak hanya menimbulkan kesenjangan yang makin lebar antara bangsa kaya dan bangsa miskin, tetapi juga antara golongan kaya dengan golongan menengah dan miskin di AS sendiri . Malahan ia memprediksi bahwa proses keruntuhan itu akan mulai pada tahun 2009 dan memuncak pada 2016.[5]

Ia katakan bahwa hegemoni AS atas dunia sekarang hakikatnya hanya menguntungkan kaum pengusaha besarnya belaka dan menimbulkan kemiskinan berat di seluruh dunia. Menurut laporan Bank Dunia sekitar 3 milyard orang atau separuh penduduk dunia, tergolong miskin dengan penghasilan kurang dari ASD 2 sehari. Sekitar 1 miliar orang lagi keadaannya lebih celaka karena hanya hidup dengan kurang dari ASD 1 sehari. [6] Bahkan di AS sendiri jumlah orang miskin bertambah dengan sekitar satu juta setiap tahun.

Politik AS telah memanfaatkan kepentingan bangsa-bangsa lain untuk mengekspor sebanyak-banyaknya ke AS, sebagaimana sudah diuraikan, yaitu untuk memperoleh banyak ASD. Defisit perdagangan AS yang membengkak sebagai akibat besarnya impor dibandingkan ekspor memberikan kepada konsumen AS peluang untuk menikmati pemakaian hasil produksi bangsa lain yang relatif murah dengan kualitas yang tidak kalah dari hasil produksi AS sendiri. Di pihak lain meningkatkan jumlah ASD yang dipegang negara lain Kita melihat betapa terus meningkat jumlah ASD pada negara-negara seperti China dan Jepang. Juga banyak negara lain seperti Indonesia, berusaha memaksimalkan ekspornya ke AS dan bertambah ASD yang dimilikinya. Anehnya adalah bahwa negara-negara itu tidak keberatan justru membiayai defisit perdagangan AS dengan banyak mengalirkan kembali ASD mereka ke AS. Maka keadaan inilah merupakan neo-kolonialisme AS atas dunia, sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Meskipun begitu negara-negara lain tidak keberatan untuk terus mengekspor dalam jumlah besar ke AS, karena juga meningkatkan ekonominya sendiri. Produknya terjual dan karena itu produksinya dapat terus berjalan. Dengan begitu dapat disediakan kesempatan kerja makin banyak pada rakyatnya yang berakibat pula pada peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Peningkatan produksi juga akan menambah kecakapan dan kemampuannya. Apalagi karena kaum industrialis AS melakukan investasi di negara-negara itu untuk mengambil keuntungan dari ongkos produksi yang lebih rendah dari di AS. Malahan negara-negara itu umumnya berusaha menarik investasi sebanyak-banyaknya dari kaum industralis AS dan perusahaan multinasionalnya.

Akan tetapi dengan begitu di AS sendiri terjadi perongrongan (hollowing process) terhadap kemampuan industrinya, khususnya manufaktur, ketika para pengusaha mengalihkan produksinya ke negara-negara yang lebih murah ongkos produksinya. Makin banyak daerah AS kehilangan pabrik-pabrik yang memberikan lapangan kerja bagi rakyatnya. Tidak saja terjadi peningkatan jumlah penganggur, tetapi juga upah kaum pekerja makin turun. Ini kemudian meluas sehingga juga menyangkut kaum menengah.

Inilah alasan yang dilihat Ravi Batra mengapa di AS akan terjadi perubahan dari dalam tubuhnya sendiri yang meruntuhkan hegemoninya di dunia. Tekanan yang makin berat meningkat bagi kaum menengah yang tidak saja kehilangan pekerjaan tetapi juga harus membayar pajak yang relatif tinggi dibandingkan dengan kaum kaya yang justru diringankan pajaknya. Kondisi yang makin memberatkan itu dapat menimbulkan sikap yang tidak mau hal ini diperpanjang lagi. Apalagi ketika harga minyak makin tinggi yang tentu lebih dirasakan beratnya oleh golongan masyarakat menengah dan kecil. Di samping itu perbedaan penghasilan antara yang kaya dengan yang miskin justru melebar, seperti antara para pimpinan perusahaan besar dan kaum pekerjanya. Melihat perkembangan di masyarakat AS kemudian Ravi Batra berani memprediksi bahwa proses perlawanan dari yang miskin terhadap yang kaya akan mulai sekitar 2009 dan berhasil sekitar 2016. Kesulitan di Irak memperkuat semangat untuk perubahan karena yang menjadi korban lebih banyak berasal dari kalangan menengah dan miskin.

Perlawanan itu divisualisasikan bukan dalam revolusi berdarah, tetapi dalam perubahan radikal penggunaan voting dalam pemilihan umum. Akan dipilih orang-orang yang berbeda pandangannya yang lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat kecil dan golongan menengah yang beda sekali dari kepentingan para pemimpin sekarang. Sekarang para pemimpin baik di partai Republik maupun Demokrat, umumnya berkiblat pada kaum modal besar. Para pemimpin AS baru hasil pilihan kaum menengah dan miskin yang marah adalah orang-orang yang orientasinya lebih mengarah ke dalam bangsanya sendiri. Hal ini tentu mengubah pula pandangan AS terhadap perannya di dunia internasional dengan mengurangi ambisi hegemoninya. Dengan begitu berakhirlah Imperium Amerika.

Baca Juga:  Dikenal Masyarakat dan Unggul Survei, Makmullah Harun Berpeluang Lolos di Pileg 2024

Tentu ada pandangan di AS yang menolak perkiraan Ravi Batra, sebagaimana sebelumnya juga penolakan terhadap pandangan Paul Kennedy. Akan tetapi bagi kita lebih penting untuk bersikap waspada dan menyiapkan diri terhadap kemungkinan adanya perubahan radikal di AS itu.

Runtuhnya hegemoni dan dengan begitu juga Imperium Amerika akan mempunyai dampak yang sangat luas di dunia mengingat peran AS yang sekarang amat menonjol dalam hampir semua aspek kehidupan.

Perubahan itu akan membuat peran Asia Timur makin penting karena kekuatan dan kemampuan negara-negara yang ada di kawasan itu. Pasti hal itu memberikan peluang kepada Indonesia untuk dapat berkembang lebih maju berdasarkan kepentingan dan jati dirinya sendiri.

Hubungan antara bangsa-bangsa Asia Timur akan lebih menguat dengan China dan Jepang sebagai aktor utama, ditambah dengan India kalau bangsa itu bergabung dengan bangsa-bangsa Asia Timur. Meskipun peran Indonesia tidak akan sekuat negara-negara itu, namun tidak mungkin dapat diabaikan.

Berbagai kondisi obyektif dan potensi yang ada pada Indonesia, khususnya posisi geografis yang bernilai strategis, jumlah penduduk yang dapat memberikan berbagai manfaat seperti sebagai pasar yang luas, potensi sumber daya alam yang sekalipun telah banyak disalah-kelola namun tetap cukup besar untuk menimbulkan manfaat penting; itu semua merupakan faktor yang menjadikan Indonesia tidak mungkin diabaikan dalam susunan baru Asia Timur tanpa AS.

Simak: Mencermati Runtuhnya Pax Americana

Maka kepemipinan di Indonesia pada tingkat nasional dan daerah makin ditantang agar dapat memanfaatkan kondisi obyektif itu semaksimal mungkin untuk menciptakan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat seluruhnya secara adil dan merata. Itu semua sangat tergantung pada kualitas, baik yang dikembangkan para pemimpin di segala aspek kehidupan maupun rakyat pada umumnya.

Akan tetapi harus selalu kita sadari bahwa itu semua tergantung pada kita sendiri sebagai bangsa dan tidak pada bangsa lain. Sebab itu kita harus sanggup dan mampu makin menghilangkan sifat-sifat pribadi yang seringkali menjadi sebab utama dari berbagai ketidakberhasilan, bahkan kegagalan. Sebaliknya kita makin mampu mengembangkan sifat-sifat positif yang kita miliki sebagai pribadi maupun ada pada masyarakat kita sebagai modal bagi suksesnya perjuangan kita

Semoga Tuhan selalu beserta kita dan meridhoi perjuangan kita !

Endnote:

[3] Paul Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers, Random House, New York 1986

[4] Krassimir Petrov dalam Military Technology, Moench Publishing House, Bonn 2006

[5] Ravi Batra, The New Golden Age, Palgrave Macmillan, New York 2007

[6] The World Bank, World Development Report, Attacking Poverty, Oxford University Press, 2000

Tulisan sebelumnya:

Sikap Indonesia dalam dinamika internasional

Sikap Indonesia dalam dinamika internasional (2)

Related Posts

1 of 35