Berita UtamaEkonomiPeristiwaPolitikTerbaru

Apakah Teror Krisis Moneter 1997 Spontan?

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Teror krisis moneter yang meledak pada medio 1997 silam telah melahirkan perubahan dahsyat, khususnya bagi Indonesia.

Menurut Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, teror krisis di Indonesia tahun 1997 terlihat bernuansa terencana, matang, gradual, konsisten dan berlanjut. Selain memang mempunyai sifat mematikan, yang bukan merupakan karakter bisnis pelaku pasar kelas dunia. Efek multiplier (berantai) dari turunnya nilai rupiah terhadap US Dollar sejalan dengan kepentingan politik serangan, di mana secara perlahan dan pasti diakomodasi oleh pemerintah.

“Namun hal ini tidak mengabaikan keuntungan besar yang diperoleh pelaku yang merekayasa nilai tukar tersebut. Korelasi nyata ditunjukkan oleh pernyataan Menlu AS, Madeleine Albright pada pertemuan dengan para Menlu di Malaysia pada kuartal ketiga tahun 1997 yang isinya bernada negatif terhadap pemerintahan di Asia yang dianggap menjalankan politik otoriter dan tidak disukai oleh Amerika,” kata Sjafrie dalam bukunya berjudul ‘Komitmen dan Perubahan Suatu Persepsi dan Perspektif‘ seperti dikutip redaksi, Jumat (12/5/2017).

Baca Juga:  Wis Wayahe Jadi Bupati, Relawan Sahabat Alfian Dukung Gus Fawait di Pilkada Jember

Ia menjelaskan, indikasi krisis Asia dikaitkan oleh situasi negara yang bersangkutan. Pada saat itu, krisis memiliki warna politik yang didominasi oleh isu kepentingan nasional Amerika dalam menjalankan kebijakan luar negeri tentang hak asasi manusia, demokrasi dan pasar bebas.

“Situasi tersebut menimbulkan implikasi-implikasi sistemik. Baik yang langsung kepada bidang moneter, maupun yang bersifat lanjutan pada tatanan politik ekonomi,” terangnya.

Jika dilihat dari tatanan politik, dampak krisis moneter mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan manakala menyentuk sektor riil. “Dibuktikan dengan antisipasi keliru pemerintah terhadap krisis melalui penutupan 16 bank, institusi keuangan yang menampung hajat perekonomian publik,” jelasnya.

Bermula dari krisis yang sudah diadopsi publik sebagai krisis masyarakat, Sjafrie menjelaskan, maka dukungan peliputan informasi yang tidak terkendali oleh media massa memperbesar tekanan yang negatif pada kondisi umum nasional. “Berbagai informasi negatif bersumber pada persoalan laten mencuat. Secara perlahan bertransformasi pada isu baru yakni isu reformasi,” lanjutnya.

Baca Juga:  Rahmawati Zainal Peroleh Suara Terbanyak Calon DPR RI Dapil Kaltara

Penangkalan terhadap serangan moneter tidak tersentuh esensinya. Sebaliknya esensi masalah moneter beralih kepada penggalian problematik masalah nasional yang terpendam dan bernuansa pada isu korupsi, kolusi dan nepotisme. Masalah moneter telah berkembang menjadi masalah ekonomi dan sosial yang menyentuh mayoritas rakyat banyak.

“Dimulai dari kaum intelektual, dosen dan mahasiswa, semua kekuatan oposan berusaha mewakili dan mengaktualisasi permasalahan. Usaha menarik simpati rakyat, secara perlahan memberi makna pergeseran krisis pada masalah politik dengan mengangkat isu hak asasi manusia,” papar Sjafrie.

Kemudian, bila mencermati pidato tahunan State of Union Amerika, Bill Clinton pada tanggal 27 Januari 1998 secara kongkrit dan gamblang menjawab dugaan suatu konspirasi kepentingan negara besar dalam krisis di Indonesia. Seperti dikatakan Clinton, bahwa tidak ada bangsa manapun di dunia yang mampu bangkit dari krisis ekonominya bila tidak mengadakan reformasi. Di sisi lain dikatakan, kepemimpinan kita di seluruh dunia sekarang ini tak tertandingi siapa pun. Kondisi persatuan dan kesatuan kita sekarang ini benar-benar kuat dan kukuh.

Baca Juga:  Ketua DPRD Nunukan Gelar Reses Dengan Para Pedagang di Pasar Yamaker

“Sementara itu, di Indonesia isu-isu tersebut menjadi solid dan mengkristal serta terfokus pada pimpinan nasional. Masalah moneter telah mengimbas pada masalah politik ekonomi. Pada puncaknya di mana saat itu seluruh sistem kenegaraan barat bertumpu pada figur kepemimpinan nasional, maka seluruh gatra Ketahanan Nasional Indonesia mulai terkena dampak krisis moneter,” tandasnya.

Pewarta: Eriec Dieda

Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 3,054