Politik

Ambisi Jokowi Melanjutkan Kursi Kepresidenan Berdengung Dalam Sidang RUU Pemilu

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Rancangan ambang batas presiden (presidential threshold/PT) 20 persen yang dibawa pemerintah dan parpol koalisi ke sidang paripurna DPR memicu lahirnya kritik keras dari berbagai pihak. Sebab, apabila Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, PT 20 persen dijadikan acuan, maka jelas itu melanggar amanah konstitusi.

Parpol-parpol penguasa nampak begitu ambisius dengan kengototannya yang kuat. Pendirian tersebut pun dinilai sebagai petunjuk untuk melihat kepentingan pemerintah dan parpol koalisi dengan menetapkan ambang batas presiden 20 persen  Tujuannya pun dianggap sebagai pemulus rencana melanggengkan Jokowi menuju kursi Istana Negara pada Pilpres 2019 mendatang.

“Baru saja saya mendapat informasi terkini dari perkembangan situasi politik dalam loby lintas partai untuk mencapai kesepakatan yang terbaik, sesuai amanat Keputusan Mahkamah Konstitusi dan sesuai Konstitusi UUD 45 Pasal 6A Ayat 2 dan Pasal 22E Ayat 3 serta bertujuan untuk menumbuhkan semangat demokrasi,” tutur Ferdinan Hutahaean, aktivis Rumah Amanat Rakyat itu kepada Nusantaranews.co, Kamis (20/7/2017) malam.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Ferdinand merasa terhenyak dengan ingformasi yang diterima, bahwa ternyata begitu gentingnya kepentingan Jokowi di dalam RUU Pemilu tersebut untuk terus berkuasa meski kinerjanya sangat amat buruk dirasakan mayoritas masyarakat yang bisa kita tangkap dari perbincangan sehari-hari ditengah publik maupun lewat media sosial.

“Beruntunglah Jokowi karena media mainstream sekarang tidak lagi selurus dulu memberitakan berita bahkan sudah bisa disebut menjadi buzzer corong opini pemerintah,” curah Ferdinan dengan nada mawas diri.

Menurut dia, kondisi memaksakan kehendak sangat dirasakan di gedung parlemen saat sidang paripurna membahas RUU Pemilu. “Gedung yang dihuni oleh para wakil rakyat ternyata tak lagi bisa kita harapkan untuk bersuara sama dengan rakyat karena banyak partai politik tak lagi mampu mandiri mengelola arah politiknya. Mungkin karena adanya kepentingan tersembunyi atau mungkin saja karena tekanan dan ancaman kriminalisasi seperti sinyalemen yang banyak timbul belakangan ini,” ungkapnya prihatin.

Fraksi pendukung Pemerintah, lanjutnya, dengan kehilangan akal sehat atau mungkin dengan jiwa yang kosong para politisinya seperti (maaf) kerbau dicucuk hidungnya harus mengikuti kegentingan kepentingan sang penguasa yaitu membatasi munculnya calon  yang lebih baik dan lebih berkualitas dari penguasa sekarang.  “Maka segala upaya dipaksakan untuk memenangi permainan politik meski dengan siasat licik dan anti demokrasi,” imbuh Ferdinand.

Baca Juga:  Asisten Administrasi Umum Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Dalam Rangka Penyusunan RKPD Tahun 2025

Ia menilai, tampaknya pilihan terbaik bagi 4 Fraksi yang saat inj menggunakan akal sehat demi kedaulatan rakyat yaitu Partai Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN adalah meninggalkan ruang sidang paripurna alias Walk Out.

“Itu lebih baik, dan kita sampaikan kepada rakyat bahwa Partai Demokrat bersama 3 Fraksi lainnya Gerindra, PKS dan PAN tidak ikut bertanggung jawab atas lahirnya UU Pemilu yang penuh siasat demi kepentingan yang sedang genting untuk di pertahankan yaitu kepentingan tetap berkuasa meski kinerja buruk,” hematnya.

Walk Out, kata dia, adalah bagian dari Demokrasi. Masih ada benteng hukum Mahkamah Konstitusi untuk menempuh jalan hukum. Meski dirinya saat ini meragukan independensi Hakim MK ditengah kekuasan rejim yang saat ini.

“Namun Saya masih menaruh harapan bahwa Hakim MK adalah Hakim yang masih memiliki akal sehat dan jiwanya tidak kosong. Saya percaya Hakim MK akan mengadili dengan jujur dan demi kebenaran semata,” sambungnya.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

Andaikan pun nantinya pengadilan di MK memutus dengan tidak lagi menggunakan akal sehat, katanya lagi, maka tentu harus ada yang bertanya kepada rakyat karena ini hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam demokrasi. Rakyat harus dilibatkan langsung jika para wakil rakyatnya ternyata tak lagi mewakili suara rakyat tapi sudah mewakili suara elit politik saja.

“Atau jika memang tidak perlu menaati putusan MK maka sebaiknya pemilu serentak batalkan saja, biarkan pemilu legislatif dahulu supaya kita menguji partai mana sesungguhnya saat ini yang berada di hati rakyat dan berhak mengajukan capres dengan presidential threshold seperti keinginan pemerintah,” tandasnya.

Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 21