Puisi

Air Mata Aceh, Serambi Makkah – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

SERAMBI MAKKAH

Di Serambi Makkah kutemukan sebutir debu bersemayam pada batu nisanku.

Tak sampai satu menit, bumi rencong ini merelakan dirinya menari di pagi hari. Tak sampai satu menit, entah getar dzaffin atau tarian seudati, jiwa-jiwa suci itu melepaskan busana dunianya untuk dikafani.

Apakah sajadah telah hilang arah, atau adzan subuh yang tak sempat dikumandangkan, aku tersesat pada ribuan hektar ladang ganja dan hitam kopi Gayo yang pahit rasanya.

Bertemu Tjut Njak Dien yang masih berselempang indahnya pelangi, sayup-sayup kudengar suara takbir di antara desing peluru tentara kafir yang menjajah Tanah Air.

Belajar menjadi rendah seperti tanah memang tak mudah, tak gerak saat diinjak, tak marah manakala dijarah, tetap menari walau telapak kaki menginjak duri.

Di Serambi Makkah kupetik cahaya pada sisa-sisa subuh yang renta, saat bumi bergoyang menarikan irama langit yang sedang berdendang.

Dan pagi ini, telah kutemukan putih kain kafanku berkibar sendiri di subuh sunyi.

Semua tentang ini tentang rindu, yang kelak menjadi debu dan masa lalu

AIR MATA ACEH

Meleleh di antara senyap dan lelap, entah embun ataukah air mata, Aceh bergetar hingga mengguncang dada.

Rumah-rumah roboh, ratusan tubuh terhimpit, jejak malaikat Izrail berkelebat menjembut takdir ratusan hamba yang tak sempat mengucap rindu atau cinta walau satu ayat.

Betapa mesra Sang Maha Rindu mencatat, mengikat, menyayat, saat gempa menyapa ribuan manusia agar terus terjaga.

Pidie seakan sedang berjanji bahwa kesetiaan sudah seharusnya sehidup semati.

Seusai subuh, janji itu terpenuhi, saat ratap-tangis telah terkunci di ulu hati.

Air mata Aceh kembali meleleh, saat lembar-lembar putih kain kafan itu terus bertakbir sepanjang malam.

 

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125