Berita UtamaFeaturedPolitik

72 Tahun Indonesia Merdeka, Produksi Manusia Sintetis Kian Melimpah

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Selama 72 Tahun Indonesia Merdeka, Produksi Manusia Sintetis Kian Melimpah. Dari ujung Barat Pulau Sumatera hingga ujung Timur Papua, segenap putra-putri Indonesia memperingati hari Kemerdekaan yang ke-72. Upacara Bendera Merah Putih teriring lagu-lagu kebangsaan, menggetarkan batin setiap anak bangsa yang bertanah tumpah darah di atas bumi pertiwi Nusantara. Doa-doa dipanjatkan kepada para pejuaang revolusi yang dengan segenap jiwa-raganya mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan.

72 Tahun Indonesia merdeka, 72 dua tahun pula setiap mata anak bangsa silih berganti menatap masa depan, sebuah masa yang lebih baik dari hari ini. Masa yang tanpa lagi ada kemiskinan, kekacauan, terorisme karena ketimpangan sosial, korupsi oleh pejabat negara, dan merebaknya antek-antek asing penggerogot kekayaan alam Indonesia. Demikianlah kenyataan yang mesti diterima.

Terasa benar, bahwa untuk memperbaiki keadaan suatu bangsa yang plural lengkap dengan beragam keinginannya, tidaklah semudah membalikkan lembar demi lembar buku tabungan. Apalagi, yang menjadi musuh adalah bagian dari saudara setanah air. Persis seperti yang diserukan Soekarno tentang tugas para pewaris perjuangan yang tiada habisnya ini.

Baca Juga:  PPWI Selenggarakan Hitung Cepat Independen Hasil Pilres 2024

Ada satu soal menarik, kali ini datang dari Blue Green Indonesia. Dari hasil pengamatan Blue Green Indonesia ini, ternyata di usia kemerdekaan Indonesia yang ke-72, produksi manusia sintesis semakin menjamur. Apa sebab?

Ketua Blue Green Indonesia Dian Sandi Utama menjabarkan, jika diibaratkan seumpama rumput yang digunakan pada lapangan sepak bola, ada 2 jenis rumput yang biasa digunakan. Rumput asli dan rumput sintetis.

“Persamaan keduanya, sama-sama bisa digunakan bermain, textur bahkan warnanya bisa persis sama. Bedanya, rumput asli bergantung pada suplay makanan alam (cahaya ataupun curah hujan) sedang sintetis tak membutuhkan keduanya,” terang Sandi dalam konfirmasi kepada NusantaraNews.co, Kamis, 17 Agustus 2017.

Menurut Sandi, manusia hari ini pun sama, banyak dijumpai tokoh-tokoh sintetis, cenderung pragmatis dan non-ideologis. Sebagian dari mereka terbentuk atas opini dan blow up media. Sangat jarang ditemui seperti tokoh-tokoh jaman dulu layaknya Jendral Soedirman, Hatta, Soekarno, Tan Malaka, Buya Hamka dan tokoh-tokoh lainnya.

Baca Juga:  Kabupaten Nunukan Dapatkan Piala Adipura untuk Kedua Kalinya

“Sekarang ini konstruksi berfikir tokoh kita mulai kacau, rule perjuangan sudah tak tentu arah bahkan sebagian dari mereka akibat adanya kepentingan politik menjadi tokoh-tokoh pendorong disintegrasi. Sistem yang terbangun memaksa mereka menjadi plastik-plastik yang menghitung hari akan menjadi sampah,” kata Sandi.

Hal itu, kata Sandi menghasilkan dampak tersendiri terhadap pelaksanaan nilai-nilai pancasila. Berikut ini uraiannya:

Ketuhanan yang maha esa, berdebat dalam konflik untuk menempatkan Tuhan dalam perseteruan horizontal atas kepentingan-kepentingan manusiawi.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, masih saja terjadi kecurangan Negara terahadap rakyatnya, kerap kali mereka tak lagi memanusiakan manusia sampai anak2 kia harus bertarung sendiri membentengi diri atas peradaban2 modernitas yang mendegradasi moral.

Persatuan Indonesia, Sudah lama kita terkotak-kotak bahkan mengartikan Pancasila sekalipun kita terbelah.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sebelum 1998 negara seperti tanpa rakyat namun hari ini rakyat seperti tanpa negara, masyarakat sering merasa seperti tak terwakili. Menjerit sendiri saat terusir ditanah kelahiran dan tanah adat.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, point yang ini saya memilih diam.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 5