Opini

71 Tahun HUT RI: Yakinkah Indonesia Sudah Merdeka?

71 Tahun Indonesia Merdeka/Ilustrasi nusantaranews
71 Tahun Indonesia Merdeka/Ilustrasi nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Zamrud khatulistiwa adalah julukan yang diberikan oleh dunia internasional kepada Indonesia, sebuah negara di kawasan Asia Tenggara yang diberikan berbagai macam potensi alam yang tidak dimiliki oleh negara lain. Kini, tepat tanggal 17 Agustus 2016, Indonesia berusia 71 tahun (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2016) sejak diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah di bumi pertiwi.

Mensyukuri kemerdekaan formil yang kita raih merupakan sesuatu yang patut dilakukan, namun melakukan introspeksi yang mendalam untuk melihat sejauh mana cita-cita kemerdekaan telah kita capai, tidak boleh diabaikan. Karena kemerdekaan Indonesia hanyalah suatu jembatan saja dan bukan berarti ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya bangsa Indonesia telah lepas seutuhnya dari cengkraman kolonialisme dan impreaslime. Artinya, kemerdekaan itu bukanlah akhir dari perjuangan. Kemerdekaan bangsa Indonesia seharusnya menjadi awal perjuangan menuju Indonesia yang bebas dari cengkraman kolonialisme dan imprealisme, terlebih di situasi batas seperti saat ini.

Bagaimana tidak, jika dahulu untuk mendominasi suatu negara hanya mungkin dilakukan oleh negara, kini bisa kita saksikan perusahan-perusahaan multinasional menancapkan kakinya dan menjalankan skema kelompok kolonialis dan imprealis modern dalam menghisap potensi alam dan merebut kedaulatan bangsa Indonesia. Dimana dominasi asing hari ini sudah sangat menggurita di Indonesia, seperti pada sektor perekonomian, media, telekomunikasi, pemerintahan, energi dan sumber daya mineral. Dominasi asing tersebut telah membuat negara Indoneisa tersandera oleh kepentingan asing dan akhirnya kita menjadi bangsa yang bergantung terhadap mereka.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Atas julukan zamrud khatulistiwa sebenernya Indonesia mempunyai limpahan potensi kekayaan alam, baik itu nabati atau hayati yang begitu luar biasa dahsyatnya, seharusnya bisa menjadi sebuah bangsa yang mandiri dari segala aspek kehidupan terutama aspek perekonomian.

Namun realistasnya meskipun Indonesia kaya akan potensi alam dan potensi manusianya tetap saja Indonesia masih memiliki ketergantungan akan produk-produk impor. Terbukti dari kebutuhan pangan pokok saja Indonesia harus impor dari negara lain dengan volume impor yang cukup tinggi seperti komoditas beras 239,31 juta kg, jagung 1,29 milyar kg, kedelai 826,33 juta kg, gula tebu 1,85 milyar kg, daging ayam 826,33 juta kg, garam 923,57 jut kg , bawang merah 63,17 juta kg, bawang putih 187,86 juta kg, cabe 8,79 kg, kentang 21,65 juta kg dan komoditas yang lainnya.

Selain dominasi asing begitu kuat dalam sektor bahan pangan pokok, pihak asing pun sangat menguasai dalam sektor perbankan dan investasi PMA, per tahun 2015 sekurang-kurangnya 50% lebih saham perbankan nasional dan 75,39% aset dan investasi kita telah dikuasai oleh pihak asing. Secara perlahan dominasi asing itu tiap tahun semakin meningkat.

Serupa pada sektor pangan dan perbankan, dominasi asing sudah sangat meluas, menguat dan tersebar pada sektor migas dan sumber daya mineral. Menurut data dari Dirjen Migas pada tahun 2011 data menunjukan di sektor perminyakan, penghasil minyal utama di Indonesia didominasi oleh asing. Diantaranya Chevron 44%, Total E&P 10%, Conoco Philip 8%, Medco 6%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1% dan lainnya 3%. Sedang Pertamina dan mitra yang dianggap mencerminkan penguasaan nasional hanya menguasai 16% saja dan dalam sektor pertambangan lebih dari 70% dikuasai oleh pihak asing.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Dominasi tidak berhenti pada sektor perekonomian dan potensi kekayaan alam saya. Dalam sektor telekomunikasi pun asing sudah masuk dan mengendalikan sektor tersebut. Terbukti dengan sektor telekomunikasi pun sudah dikuasai oleh pihak asing sekitar 70%.

Memang zaman sudah berubah. Globalisasi gelombang kedua sudah mencapai puncaknya dan dunia sedang bersiap diri menuju globalisasi gelombang ketiga. Arus ekonomi liberal dan pasar bebas pun akhirnya memaklumkan sistem penanaman modal dan investasi di mana saja, di negara mana saja tanpa hambatan (globalisasi), sejauh negara memberlakukan sistem ekonomi liberal dan bebas sehingga privatisasi oleh perusahaan asing menjadi hal yang normal. Namun, konsitusi negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 sebenarnya secara jelas dan tegas menentang sistem ekonomi liberal yang sedang menguasai jantung perekonomian Indonesia.

Perlu kita cermati dan pahami bersama bahwa kaum kolonialis dan imprealis guna mengendalikan suatu negara tidak selalu melalui proses peperangan konvensional yang memerlukan kekuatan militer. Bahwa konsep peperangan hari ini sudah berkembang dari konvensional menuju peperangan asimetris yang mempunyai spektrum perang yang lebih luas daripada perang konvensional. Baik itu peperangan konvensional ataupun asimetris itu hanyalah sebuah metode belaka namun tujuannya adalah sama yakni mempertahankan atau mendapatkan atas kedaulatan sebuah negara.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Terbukti hari ini yang menjadi salah satu faktor utama dari kolonialisme dan imprealisme modern tetap mencengkram kedaulatan Indonesia adalah salah satunya melalui legitimasi produk hukum yang dibuat oleh “kaki tangan” mereka di Indonesia yang menjabat dalam struktur pemerintahan. Soekarno pun pernah berpesan kepada kita semua,”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuangmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Terbukti mulai dari tahun 1967 dengan pemerintah saat itu mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang pertama di Indonesia dan hingga hari ini banyak sekali produk hukum yang dibuat oleh pemerintah yang sangat pro atas kepentingan asing agar tetap dapat mengeksploitasi seluruh potensi yang ada di Indonesia.

Tentu ketika pemerintah yang seyogyanya diamanahkan dalam konstitusi negara untuk dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, ternyata realitasnya banyak sekali oknum pejabat pemerintah yang menjadi “kaki tangan” asing dalam memuluskan misinya guna menguasai Indonesia. Kita tidak boleh diam saja, bahwa kedaulatan penuh atas kepemilikan potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah rakyat Indonesia sendiri bukan rakyat Indonesia yang menjadi “kaki tangan” asing ataupun pihak asing seperti yang terjadi hari ini.

Kemerdekaan yang hakiki adalah ketika Indonesia terbebas dari cengkraman kolonialisme dan imprealisme modern sehingga Indonesia benar-benar berdaulat atas kepemilikan potensi alam dinegeri ini.‎ (Andre Lukman, Alumni UNIKOM Bandung/ed:Red-02)

Related Posts

1 of 14